Selasa, 23 Juni 2015

Pemeriksaan Parasit

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil Pemeriksaan Mikroskopis Feses

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan tidak ditemukan keberadaan cacing pada pemeriksaan feses metode natif dan sentrifuse. Sampel feses yang diamati berasal dari kambing jawarandu induk dan anak.

3.1.1. Metode natif

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan diketahui bahwa tidak terdapat keberadaan cacing maupun telur cacing pada feses. Hal ini menunjukkan bahwa ternak dalam keadaan sehat karena bebas dari cacing. Tidak adanya keberadaan cacing dalam feses disebabkan karena kandang selalu dalam keadaan bersih. Salah satu faktor yang menyebabkan ternak terserang cacing adalah lingkungan kandang yang kotor. Kandang yang rutin dibersihkan dapat mencegah terinfeksinya ternak dari cacing. Menurut pendapat Kusnoto (2002) adanya kubangan atau lingkungan yang kotor pada kandang menjadi pemicu utama perantara masuknya cacing pada ternak. Hernasari (2011) menyatakan bahwa keberadaan endoparasit yang ditemukan pada feses dapat disebabkan beberapa faktor, yaitu kebersihan kandang, kebersihan pakan, wadah makan dan minum, lingkungan sekitar dan tindakan pencegahan serta pengobatan.

3.1.2. Metode sentrifuse

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan diketahui bahwa tidak terdapat keberadaan cacing maupun telur cacing pada feses. Hal ini menunjukkan bahwa ternak dalam keadaan sehat karena bebas dari cacing. Tidak adanya keberadaan cacing dalam feses disebabkan karena kandang selalu dalam keadaan bersih. Salah satu faktor yang menyebabkan ternak terserang cacing adalah lingkungan kandang yang kotor. Kandang yang rutin dibersihkan dapat mencegah terinfeksinya ternak dari cacing. Menurut pendapat Hernasari (2011) keberadaan endoparasit yang ditemukan pada feses dapat disebabkan beberapa faktor, yaitu kebersihan kandang, kebersihan pakan, wadah makan dan minum, lingkungan sekitar dan tindakan pencegahan serta pengobatan. Ternak yang dipelihara secara intensif dapat menjauhkan ternak dari resiko terinfeksi cacing, karena telur cacing berada di tanah dan bisa saja termakan oleh ternak saat merumput. Menurut pendapat Jusmaldi dan Saputra (2009) pola beternak (ektensif dan intensif) dapat mempengaruhi terinfeksinya ternak oleh cacing.

3.2. Pengamatan Preparat Parasit

Berdasarkan pengamatan parasit yang dilakukan ada dua macam parasit yaitu endoparasit dan ektoparasit. Parasit yang termasuk endoparasit yaitu Ascaris lumbricoides, Paramphistomum., dan Parascaris. Sedangkan jenis parasit ektoparasit yaitu Chrysomya megacephala, Pediculus dan Tabanus rubidus.

3.2.1. Ektoparasit

3.2.1.1. Chrysomya megacephala

Chrysomya megacephala merupakan lalat hijau, ukuran tubuhnya ada yang sedang dan besar, dan berwarna hijau. Menurut pendapat Natadisastra dan Agoes (2009) chrysomya megacephala atau lalat hijau termasuk ke dalam famili calliphoridae. Lalat ini terdiri atas banyak jenis, umumya berukuran sedang sampai besar, dengan warna hijau, abu-abu, perak mengkilat atau abdomen gelap. Siklus hidup chrysomya megacephala berawal dari telur kemudian menjadi larva, pupa dan menjadi dewasa. Menurut pendapat LIPI (1983) chrysomya megacephala mengalami metamorfosis sempurna yang diawali dengan telur yang kemudian menjadi larva, pupa dan akhirnya menjadi bentuk dewasa. Telur diletakkan oleh lalat dewasa dalam keadaan berkelompok - kelompok. Selama masa hidupnya lalat betina chrysomya megacephala meletakkan telurnya sebanyak 4-6 kali. Sitanggang (2001) menyatakan bahwa Chrysomya megacephala merupakan vektor dari telur Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura yang menempel pada bagian luar tubuhnya.

3.2.1.2. Pediculus

Pediculus adalah parasit yang menyerang kulit ternak. Menurut pendapat Deviannita dan Frischa (2010) pedikulosis kapitis adalah penyakit infeksi penyakit kulit dan rambut yang disebabkan oleh pediculus humanus var.capitis. Karakteristik pediculus humanus var.capitis dewasa yaitu mempunyai 2 mata dan 3 pasang kaki, berwarna abu-abu, tidak bersayap. Menurut pendapat Alatas dan Linuwih (2013) kutu dewasa mempunyai 2 mata dan 3 pasang kaki, berwarna abu-abu dan menjadi kemerahan jika telah menghisap darah serta kutu kepala tidak bersayap, memipih di bagian dorsoventral dan memanjang. Siklus hidup pediculus humanus capitis terdiri dari stadium telur, nimfa dan dewasa. Menurut pendapat Alatas dan Linuwih (2013) setelah perkawinan, kutu betina dewasa akan menghasilkan 1 sampai 6 telur per hari selama 30 hari. Telur kutu ini akan menetas setelah 7-10 hari, dengan meninggalkan kulit atau selubungnya pada rambut, selubung berwarna putih dan kolaps. Telur yang menetas akan menjadi nimfa. Bentuknya menyerupai kutu dewasa, namun dalam ukuran kecil. Nimfa akan menjadi dewasa dalam waktu 9-12 hari setelah menetas. Untuk hidup, nimfa membutuhkan makanan berupa darah.

3.2.1.3. Tabanus Rubidus

Tabanus rubidus merupakan ektoparasit yang hidupnya berada pada permukaan tubuh atau di luar tubuh ternak seperti kulit, telinga dan mata. Tabanus rubidus berwarna hitam kecoklatan, memiliki sayap tidak bersih dan matanya besar. Menurut pendapat Suwandi (2001) ektoparasit hidupnya pada permukaan tubuh bagian luar atau bagian tubuh yang berhubungan langsung dengan dunia luar seperti kulit, rongga telinga, hidung, bulu, ekor, dan mata. Tabanus rubidus atau lalat kerbau berwarna gelap, hitam kecoklat-coklatan bertubuh kekar dengan ujung belakangnya meruncing, ukuran tubuhnya besar, sayapnya tidak jernih, dan matanya besar. Siklus hidup Tabanus rubidus atau lalat kerbau diawali dari telur yang menempel pada batang tanaman yang tumbuh di tempat yang basah atau lembab, telur tersebut akan berubah menjadi larva, kemudian larva akan meninggalkan tempat yang lembab dan berubah menjadi pupa. Menurut pendapat LIPI (1983) telur lalat kerbau berbentuk lonjong diletakkan secara berkelompok menempel pada permukaan bawah daun atau batang tanaman yang tumbuh di tempat-tempat yang berair. Larvanya berbentuk silinder dengan bagian depannya agak meruncing, begitu keluar dari tetasan telur segera masuk ke dalam tanah yang lembab. Setelah itu larva meninggalkan lingkungan yang lembab dan mencari tempat – tempat yang agak kering untuk berubah menjadi pupa. Pupanya berbentuk seperti tong berwarna kecoklat – coklatan. Tabanus rubidus merupakan serangga yang dapat menjadi vektor atau pembawa suatu baketri yang dapat menyebabkan penyakit pada ternak, salah satu bakteri yang dapat ditularkan adalah bakteri Bacillus anthracis yaitu penyebab penyakit antraks. Hardjoutomo et. al. (1995) menyatakan bahwa jenis serangga tabanus rubidus mampu memidahkan bakteri Bacillus anthracis penyebab antraks pada kuda dan kerbau.

3.2.2. Endoparasit

3.2.2.1. Ascaris lumbricoides

Ascaris lumbricoides atau cacing gilik memiliki tubuh bulat dan panjang, memiliki 2 reproduksi (jantan dan betina) dan sebagian ada yang hidup parasit maupun hidup bebas. Menurut pendapat Hadi dan Saviana (2000) ascaris lumbricoides tubuhnya bulat panjang (gilig) disebut cacing gilig, memiliki saluran pencernaan dioceous (berumah dua), reproduksi seksual (jantan dan betina), memiliki rongga badan palsu tripoblastik pseudoselomata kosmopolita, ada yang parasit dan adapula yang hidup bebas. Siklus hidup ascaris lumbricoides berawal dari telur. Telur tersebut akan berkembang dan menetas di usus halus. Menurut pendapat Griffiths (1991) daur hidup ascaris dimulai dari telur yang telah dibuahi di dalam tubuh cacing betina. Telur-telur dikeluarkan di dalam usus kecil dan menetas. Cacing ini dapat menyebabkan iritasi dan gangguan pencernaan pada usus penderita bahkan dapat mengakibatkan kematian. Menurut Rasmaliah (2000) menyatakan bahwa Adanya cacing didalam usus penderita akan mengadakan gangguan keseimbangan fisiologi yang normal dalam usus, mengadakan iritasi setempat sehingga mengganggu gerakan peristaltik dan penyerapan makanan, apabila cacing ini menembus dinding usus dan masuk ke jantung atau otak dapat menyebabkan kematian.

3.2.2.2. Paramphistomum

Cacing ini berbentuk seperti kerikil, berwarna putih keabu-abuan, berbentuk seperti ascridia golli lebih pendek dan tubuhnya terlihat lebih kaku dan keras. Menurut pendapat Suwandi (2001) yang termasuk kedalam cacing genus fasciola (cacing hati) yang berwarna merah muda kekuning-kuningan sampai abu-abu kehijau-hijauan antara lain cacing paramphistomum sp dan genus Schistoma. Siklus hidup cacing paramphistomum berawal dari telur yang berkembang menjadi larva dan akhirnya menjadi cacing dewasa. Menurut pendapat Subronto (1985) cacing parampitomum yang belum dewasa yang bertempat di duodenum dan abomasum menyebabkan radang usus hebat hingga segera diikuti dengan diare berat. Putratama (2009) menambahkan bahwa cacing dewasa bertelur di dalam habitatnya kemudian menuju usus dan dikeluarkan bersama dengan kotoran (feses).

3.2.2.3. Parascaris

Parascaris merupakan cacing nematode dengan tubuh yang tebal dan bahkan lebih besar dari ascaris. Cacing parascaris berwarna putih dan memiliki ekor lurus. Menurut pendapat Syamsu (2004) cacing betina dewasa mempunyai bentuk tubuh posterior yang membulat (conical), berwarna putih kemerah-merahan dan mempunyai ekor lurus tidak melengkung. Cacing betina mempunyai panjang 22 - 35 cm dan memiliki lebar 3 -6 mm. Sementara cacing jantan dewasa mempunyai ukuran lebih kecil, dengan panjangnya 12 - 13 cm dan lebarnya 2 - 4 mm, juga mempunyai warna yang sama dengan cacing betina, tetapi mempunyai ekor yang melengkung kearah ventral. Siklus hidup dari cacing parascaris yaitu berawal dari telur, telur tersebut keluar bersama feses kemudian berkembang di tanah selama kurang lebih 2 minggu, kemudian tertelan oleh burung dan menetas di dalam usu halus. Menurut pendapat Levine (1994) parascaris mempunyai siklus hidup yang langsung. Telur keluar bersama feses dan berkembang menjadi stadium infektif pada tanah dalam waktu 8 – 14 hari pada kondisi biasa telur infektif tertelan oleh burung dan menetas di dalam proventrikulus atau usus halus. Beberapa larva masuk kedalam dinding usus, tetapi kebanyakan tetap di dalam rumen. Larva berkembang melewati usus dan pindah ke selaput lendir. Parascaris dapat menyebabkan sembelit dan kolik usus pada kuda. Hal ini sesuai dengan pendapat Hasan (2004) yang menyatakan bahwa kolik meupakan gangguan pencernaan yang disebabkan oleh makan yang berlebihan, minmberlebihan pada waktu panas, makanan berjamur, dan bahkan disebabkan oleh cacing geang (parascaris).